Oleh: M. Junianto Tri G
Angin
bertiup perlahan mengintip tenda. Samar kudengar teman-teman memanggilku.
Kubuka mata dan segera keluar tenda, mencari tau apa yang terjadi. Oh, ternyata
mereka sudah siap melanjutkan pendakian, tak sepertiku dan rekan se-tenda-ku
yang Masih berkelana dalam mimpi. Aku Masuk kembali dalam tenda. Membangunkan
rekan setenda yang Masih juga terlelap. Sembari menunggu mereka mengumpulkan
kesadaran, aku bersiap lebih dulu. Perlengkapan sudah aku siapkan sebelum tidur
tadi. Jadi sekarang aku tinggal memakainya. Kaos kaki dua lapis, celana tiga
lapis, baju tiga lapis, sarung tangan, dan penutup kepala, dan sebuah kain
putih yang kukalungkan sebagai syal. Oke siap. Oh iya, Senter. Berjalan malam
di pegunungan yang gelap bisa kesusahan kalau tanpa alat penerangan yang satu
itu.
Sesaat
kemudian teman setenda sudah siap dan beranjak keluar tenda. Aku mengikuti
dibelakang mereka. Tapi aku masuk ke tenda lagi. Ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu
yang mmembuatku berada disini. Sesuatu yang mendorong langkahku, dan menjadi
tekat kenapa aku harus sampai puncak Mahameru. Kuambil benda itu dan kuselipkan
dalam bajuku.
Saat
bulan mulai tergelincir dari puncaknya, kami memulai perjalanan. Cahaya bulan
membuat kami berhemat batrai senter. Tapi setelah memasuki hutan, senter mutlak
diperlukan. Disini cahaya bulan hanya sesekali menembus dedaunan.
Semakin
lama, tenaga semakin terkuras. Beberapa kali kami beristirahat, menata tenaga
untuk melanjutkan perjalanan. Tak lama kami sampai di Arcopodo. Disana ada
beberapa tenda yang sudah ditinggal pendakinya ke puncak. Tak terbayang
bagaimana sulitnya membawa perlengkapan pendakian sampai di Arcopodo ini. Kami
yang cuma membawa perbekalan aja kelelahan, apalagi mereka yang membawa
perlengkapan yang sudah pasti tak ringan itu.
Selepas
Arcopodo, kami menemukan beberapa bangunan "in memoriam" (entah
apa sebutannya). Disitu tertulis beberapa nama pendaki yang gugur ketika
mendaki Semeru. Ada yang meninggal karena kedinginan, jatuh ke jurang, dan ada
juga yang meninggal karena menghirup gas beracun. Rekan mereka mengabadikan
kepergian mereka dalam bentuk bangunan-bangunan kecil itu.
Sekitar
jam setengah dua pagi, kami sampai di Cemoro Tunggal. Konon disini dulu ada
satu pohon cemara besar. Sayang sudah tumbang oleh longsoran pasir gunung
Semeru. Cemoro Tunggal adalah batas vegetasi terakhir. Selepasnya, tinggal
gundukan gunung pasir. Dan disitulah kekuatan pendaki benar-benar diuji. Bukan
hanya kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan tekad untuk sampai puncak yang sudah
di depan mata.
Gundukan
pasir yang tidak kokoh membuat langkah seolah percuma. Naik tiga langkah,
merosot satu langkah. Begitu seterusnya. Kata orang, jarak Cemoro Tunggal ke
puncak sekitar dua kilometer. Tapi dua kilometer dengan kemiringan medan dan
pasir yang labil itu terasa semakain jauh. Sering lelah menyapa. Tetapi barang
yang kuselipkan ke dalam bajuku tadi seolah kembali menyemangati. Begitu
seterusnya.
Hingga
matahari terbit, kami baru sampai di tengah perjalanan. Rombongan kami tinggal
tujuh orang. Selebihnya sudah mendahului kami sejak selepas cemoro tunggal
tadi. Kami bertujuh adalah lima orang angkatan 2012, dan dua orang senior
angkatan 2009.
Disinilah
kesetiaan benar-benar diuji. Maklum, temanku yang badannya agak berisi sudah
mulai kecapekkan. Kami yang hemat berat badan saja capek, apalagi dia.
Sebenarnya bisa saja kami duluan menuju puncak. Tapi rasa persaudaraan yang
kupelajari mengurungkan niat ke-tidak-setia-kawan-an-ku. Setapak demi setapak
kami lalui. Waktu itu teman-teman kusuruh untuk duluan, meninggalkan kami
berdua, tetapi mereka enggan. Disinilah aku merasakan persahabatan yang pernah
hilang dibawa sahabatku dalam maut. Sahabat yang telah mendahuluiku. Sahabat
yang membuatku disini saat ini. Sahabat yang mengharuskanku mencapai puncak
Mahameru.
Semakin
terik, beberapa pendaki sudah mulai berturunan. "Semangat Mbak, Mas,
tinggal dikit lagi!". kata-kata motivasi itu sering kami dengar. Aku mulai
bosan dengan kata-kata itu. Dalam keputusasaan, kubuka bajuku. Kukeluarkan
sebuah foto dari dalam bajuku. Kupandangi foto itu. Aku Berdiri lari keatas,
sejenak lupa 6 teman yang bersamaku. Ah iya. Aku berhenti, menunggu mereka.
Dalam hati aku bergumam: "Saudaraku, kalau nanti aku tidak sampai puncak,
tolong maafkan aku. Bukankah kesetiakawanan lebih penting dari puncak yang di
depan mata itu? Ya. pasti kau berfikiran sama". Kupandangi foto tadi. Aku
tersenyum. Sejenak beristirahat sambil menikmati pemandangan yang begitu
indahnya. Kami berada diatas awan. Dari sini, kami dapat melihat deretan gunung
dengan jelas. Ada gunung Bromo, gunung Penanggungan, gunung Arjuno, semua
terlihat jelas.
***
9.15
pagi.
Kami
sampai puncak. Walau kabut menyelimuti, kami tetap menikmati. Disini sudah sepi.
Para pendaki yang lain sudah turun. Tinggal kami yang menikmati puncak.
Berbagai ekspresi kami lakukan sebagai kegembiraan. Ada yang sujud syukur,
berfoto-foto, dan ada pula yang "menandai wilayah".
Aku
segera buka jaket dan bajuku. Ku ambil Foto yang dari tadi kubawa. Segera aku
minta difoto oleh temanku. Disamping tulisan 3676 mdpl, aku berfoto menenteng
foto sahabat kesayanganku dan sebuah kertas bertuliskan: "Galih Grahandi
Putra di Mahameru". Ya. Sebelum tiada, ia sempat ingin mendaki sampai
puncak Mahameru. Dan pendakianku ini kudedikasikan buatnya.
Air
mata sudah mengintip dari balik kelopak. Aku menahannya. Karena aku harus kuat
untuk terus tersenyum dan berucap: