Friday, 25 April 2014

Puncak Mahameru, Kuantarkan Saudaraku Padamu


Oleh: M. Junianto Tri G
                Angin bertiup perlahan mengintip tenda. Samar kudengar teman-teman memanggilku. Kubuka mata dan segera keluar tenda, mencari tau apa yang terjadi. Oh, ternyata mereka sudah siap melanjutkan pendakian, tak sepertiku dan rekan se-tenda-ku yang Masih berkelana dalam mimpi. Aku Masuk kembali dalam tenda. Membangunkan rekan setenda yang Masih juga terlelap. Sembari menunggu mereka mengumpulkan kesadaran, aku bersiap lebih dulu. Perlengkapan sudah aku siapkan sebelum tidur tadi. Jadi sekarang aku tinggal memakainya. Kaos kaki dua lapis, celana tiga lapis, baju tiga lapis, sarung tangan, dan penutup kepala, dan sebuah kain putih yang kukalungkan sebagai syal. Oke siap. Oh iya, Senter. Berjalan malam di pegunungan yang gelap bisa kesusahan kalau tanpa alat penerangan yang satu itu.
                Sesaat kemudian teman setenda sudah siap dan beranjak keluar tenda. Aku mengikuti dibelakang mereka. Tapi aku masuk ke tenda lagi. Ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu yang mmembuatku berada disini. Sesuatu yang mendorong langkahku, dan menjadi tekat kenapa aku harus sampai puncak Mahameru. Kuambil benda itu dan kuselipkan dalam bajuku.
                Saat bulan mulai tergelincir dari puncaknya, kami memulai perjalanan. Cahaya bulan membuat kami berhemat batrai senter. Tapi setelah memasuki hutan, senter mutlak diperlukan. Disini cahaya bulan hanya sesekali menembus dedaunan.
                Semakin lama, tenaga semakin terkuras. Beberapa kali kami beristirahat, menata tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Tak lama kami sampai di Arcopodo. Disana ada beberapa tenda yang sudah ditinggal pendakinya ke puncak. Tak terbayang bagaimana sulitnya membawa perlengkapan pendakian sampai di Arcopodo ini. Kami yang cuma membawa perbekalan aja kelelahan, apalagi mereka yang membawa perlengkapan yang sudah pasti tak ringan itu.
                Selepas Arcopodo, kami menemukan beberapa bangunan "in memoriam" (entah apa sebutannya). Disitu tertulis beberapa nama pendaki yang gugur ketika mendaki Semeru. Ada yang meninggal karena kedinginan, jatuh ke jurang, dan ada juga yang meninggal karena menghirup gas beracun. Rekan mereka mengabadikan kepergian mereka dalam bentuk bangunan-bangunan kecil itu.
                Sekitar jam setengah dua pagi, kami sampai di Cemoro Tunggal. Konon disini dulu ada satu pohon cemara besar. Sayang sudah tumbang oleh longsoran pasir gunung Semeru. Cemoro Tunggal adalah batas vegetasi terakhir. Selepasnya, tinggal gundukan gunung pasir. Dan disitulah kekuatan pendaki benar-benar diuji. Bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan tekad untuk sampai puncak yang sudah di depan mata.
                Gundukan pasir yang tidak kokoh membuat langkah seolah percuma. Naik tiga langkah, merosot satu langkah. Begitu seterusnya. Kata orang, jarak Cemoro Tunggal ke puncak sekitar dua kilometer. Tapi dua kilometer dengan kemiringan medan dan pasir yang labil itu terasa semakain jauh. Sering lelah menyapa. Tetapi barang yang kuselipkan ke dalam bajuku tadi seolah kembali menyemangati. Begitu seterusnya.
                Hingga matahari terbit, kami baru sampai di tengah perjalanan. Rombongan kami tinggal tujuh orang. Selebihnya sudah mendahului kami sejak selepas cemoro tunggal tadi. Kami bertujuh adalah lima orang angkatan 2012, dan dua orang senior angkatan 2009.
                Disinilah kesetiaan benar-benar diuji. Maklum, temanku yang badannya agak berisi sudah mulai kecapekkan. Kami yang hemat berat badan saja capek, apalagi dia. Sebenarnya bisa saja kami duluan menuju puncak. Tapi rasa persaudaraan yang kupelajari mengurungkan niat ke-tidak-setia-kawan-an-ku. Setapak demi setapak kami lalui. Waktu itu teman-teman kusuruh untuk duluan, meninggalkan kami berdua, tetapi mereka enggan. Disinilah aku merasakan persahabatan yang pernah hilang dibawa sahabatku dalam maut. Sahabat yang telah mendahuluiku. Sahabat yang membuatku disini saat ini. Sahabat yang mengharuskanku mencapai puncak Mahameru.
                Semakin terik, beberapa pendaki sudah mulai berturunan. "Semangat Mbak, Mas, tinggal dikit lagi!". kata-kata motivasi itu sering kami dengar. Aku mulai bosan dengan kata-kata itu. Dalam keputusasaan, kubuka bajuku. Kukeluarkan sebuah foto dari dalam bajuku. Kupandangi foto itu. Aku Berdiri lari keatas, sejenak lupa 6 teman yang bersamaku. Ah iya. Aku berhenti, menunggu mereka. Dalam hati aku bergumam: "Saudaraku, kalau nanti aku tidak sampai puncak, tolong maafkan aku. Bukankah kesetiakawanan lebih penting dari puncak yang di depan mata itu? Ya. pasti kau berfikiran sama". Kupandangi foto tadi. Aku tersenyum. Sejenak beristirahat sambil menikmati pemandangan yang begitu indahnya. Kami berada diatas awan. Dari sini, kami dapat melihat deretan gunung dengan jelas. Ada gunung Bromo, gunung Penanggungan, gunung Arjuno, semua terlihat jelas.
***
                9.15 pagi.
                Kami sampai puncak. Walau kabut menyelimuti, kami tetap menikmati. Disini sudah sepi. Para pendaki yang lain sudah turun. Tinggal kami yang menikmati puncak. Berbagai ekspresi kami lakukan sebagai kegembiraan. Ada yang sujud syukur, berfoto-foto, dan ada pula yang "menandai wilayah".
                Aku segera buka jaket dan bajuku. Ku ambil Foto yang dari tadi kubawa. Segera aku minta difoto oleh temanku. Disamping tulisan 3676 mdpl, aku berfoto menenteng foto sahabat kesayanganku dan sebuah kertas bertuliskan: "Galih Grahandi Putra di Mahameru". Ya. Sebelum tiada, ia sempat ingin mendaki sampai puncak Mahameru. Dan pendakianku ini kudedikasikan buatnya.
                Air mata sudah mengintip dari balik kelopak. Aku menahannya. Karena aku harus kuat untuk terus tersenyum dan berucap:
                "Selamat tidur, Saudaraku :)"

Aku, fotomu, dan mahameru.

Disamping kibaran bendera Merah Putih

3676 mdpl puncak Mahameru

Begini nih kalo gak bisa bawa orangnya.
cuma bisa bawa fotonya aja :)