Silaturahmi, suatu hal yang lumrah, dan kadang (terasa)
butuh pengorbanan. Tapi ternyata silaturahmi itu banyak sekali manfaatnya.
Seperti yang sering diucapkan para ustadz dan ustadzah mengenai Hadist Nabi
yang menjelaskan pentingnya silaturahmi. Seperti pahalanya yang besar, bisa
memperpanjang umur (secara hakikat dan fungsi dari umur ya kiranya, kan jatah
umur sudah ditulis saat dilauhul Mahfudz ya? Mmmmm, CMIIW), dan masih banyak
sekali fungsinya. Yang jelas, apa yang saya alami saat silaturahmi adalah, anak
saya jadi dapet sangu. Juga dapat melihat langsung bagaimana kabar-kabari saudara.
Silaturahmi kali ini lebih dari itu. Ada pengalaman yang sangat bernilai bagi
saya dari sang Empunya rumah (terutama suami) dalam bersikap menyambut tamu dan
bagaimana menjalani hidup (Yang setelah kudengar beritanya bahwa dia sudah
tidak bekerja di tempat yang dulu lagi, yang gajinya 12x gajiku itu) Yang
otomatis pendapatannya sangat drastis berbeda. Namun tidak terlihat perubahan
gaya hidup yang sangat signifikan ya, tetap seperti dulu, Bila sedang libur
kerja ya bersih-bersih rumah, kandang ternak( beliaunya juga berternak ayam,
kelinci, entok, ayam kalkun, seekor sapi, dan seekor kambing), menaruh makanan
ternak ditempatnya, menyapu halaman, menyapu rumah, mencuci baju (ya walaupun
pakai mesin cuci, tapi beliau termasuk sangat teliti dengan kebersihan, jadi
selalu diperhatikan kotoran yang perlu perhatian dan perlakuan extra, sehingga
bersihnya bisa optimal), menyikat kamar mandi, WC, dan mengelap kaca cendela. Itu
juga yang beliau lakukan saat ini, saat jadi pengangguran untuk kedua kalinya. Beliau
tidak malu melakukan itu semua, yang notabene khalayak umum menilai itu adalah
pekerjaan perempuan. Karena beliau paham sekali itu semua adalah tugas beliau,
istrinya hanya membantunya menjalankan tugas ini, dan karena kepatuhan istri
kepadanya. Terlihat dari jawaban beliau saat aku bilang, “Dalem sapune Oom,
piyantun jaler kok nyapu, kan niki tugase tiyang estri” (Saya sapu (rumahnya),
Oom, orang laki-laki kok menyapu, ini kan tugasnya perempuan.) “Iki mono malah
tugasku dadi wong lanang, nduk.
Bagian teko nafkah sandang, pangan, papan. Nha iki termasuk kewajibanku
nyediano papan omah sing resik nggo anak bojo, nafkah papan iku mau. Nek
Bulikmu nandangi iku mergo arep ngewangi aku, mergo manut karo aku.”(Ini tu
tugas saya sebagai laki-laki, Nduk.(panggilan
untuk anak perempuan, red) Sebagian dari nafkah sandang, pangan, papan. Nha ini
termasuk kewajibanku untuk menyediakan tempat, rumah yang bersih untuk anak
istri, nafkah papan itu tadi. Kalau Bulikmu melakukannya itu karena membantuku,
dan karena berbakti kepadaku, suaminya.). Waow, bener-bener sebuah pengertian,
pengetahuan, dan pelaksanaan yang sangat optimal, bener-bener menafkahi. Tidak
seperti kebanyakan orang yang memberi setengah nafkah, atau seperempat nafkah,
atau bahkan tidak menafkahi sama sekali. Bahaya nih yang terakhir. Gak ada
tanggung jawabnya.
Kembali kepada gaya hidup beliau. Beliau juga menanam beberapa jenis
sayur-sayuran, dan buah. Kebun yang tidak seberapa luas itu bisa mencukupi 50%
kebutuhan beliau dan keluarga akan sayur dan buah. Keren. Menurut Beliau, ini
bisa untuk pengiritan pengeluaran kebutuhan sayur. Dan lebih sehat karena bebas
pestisida.
Beliau bukan orang yang berpendidikan rendah, beliau
sarjana. Diantara saudaranya yang lebih memilih bekerja saja daripada sekolah,
beliau memilih bekerja dan melanjutkan pendidikannya hingga sarjana. Pernah
bekerja dengan gaji kecil, lalu pernah jadi pengangguran, lalu kerja lagi
sehingga dapet gaji buesar gt. Lalu sekarang, untuk sementara istirahat dirumah
lagi. Dulu tinggal di kamar kos, lalu punya rumah kontrakan, lalu bisa beli
tanah dengan rumah asal ada temboknya saja, lalu bisa bangun rumah, lalu bisa
renovasi rumah menjadi lebih luas dan nyaman, bisa nampung banyak orang gt.
(Jadi betah bertamu kerumah beliau) Gaya hidup beliau masih sama. Masih tetep
sederhana. Masih juga menghormati yang lebih tua, menyayangi kepada yang muda,
menghargai ke sesama, tidak pernah menunjukkan atau menyombongkan sarjananya di
depan saudaranya, atau kekayaannya saat dia berpunya, atau meninggalkan saudara
yang sangat merugikannya, tidak pernah menyuruh istrinya. Beliau tetap mau
membantu orang yang membutuhkan bantuan, beliau tetap berusaha mencukupi semua
kebutuhan hidup keluarga, beliau tetap memperhitungkan kemungkinan baik dan
kemungkinan buruk dari pekerjaannya sehingga menyiapkan hal-hal untuk
mengatisipasinya. Hmmmmmhhhhh. Sungguh sosok yang patut dijadikan contoh dimasa
sekarang.
Inilah pentingnya silaturahmi buat saya. Mengenal lebih
dekat sosok yang dulu hanya kudengar ceritanya saja, dan menjawab semua
pertanyaan-pertanyaanku tentang bagaimana Sosok Oom ini menjalankan kehidupan
beliau. Dengan begitu sabarnya menjalani kebahagiaan dan kesulitan, dengan
begitu ikhlas beliau saat diperlakukan buruk, dan begitu terperincinya dan sangat
hati-hati beliau memberikan hak orang lain (termasuk hak anak dan istrinya) dan
begitu tegasnya beliau menjalankan kewajiban dan tugas beliau. Sungguh Allah
Maha Kuasa dalam menunjukkan Makhluk ciptaanNya yang tercipta baik, dan sungguh
maha Kuasa dalam menunjukkan contoh baik kepadaku. Alhamdulillah.
Indah, ya itu yang kurasakan. Allah menuntun jalanku untuk
silaturahmi menikmati sehari semalam dirumah beliau, melihat live bagaimana beliau menjalani
hidupnya. ‘Memaksaku’ untuk belajar menata hati supaya ikhlas dan lebih sabar
lagi menjalani kehidupanku. Karena pada dasarnya dalam menjalani hidup ini ada dua, bahagia dan berusaha bahagia. Tergantung bagaimana kita menyikapinya dan memilih yang mana. Yang ternyata saat ini masih dikaruniai waktu belum ‘bahagia’, jangan berkecil hati, tawakkallah kepadaNya dengan tetap ‘berusaha untuk bahagia’.
Alhamdulillahirrabbil alamiin. Terimakasih atas kesempatan baik ini ya Rabb.
#MenulisUntukDiriSendiriLebihBaik.